Wisata  

Tugu Soeharto, Sentuhan Mistis dan Sejarah yang Tak Tergoyahkan

SEMARANG, Banggasemarang.id – Jika Anda melintasi Jalan Menoreh Raya di Kelurahan Bendan Duwur, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, pasti tidak asing dengan penampakan kokoh Tugu Soeharto yang berdiri di bawah jembatan Sungai Kaligarang.

Berbentuk sederhana, Tugu Soeharto menara tinggi sekitar 8 meter dengan bagian bawahnya terdiri dari beton penyangga yang dikelilingi semak belukar. Meski memiliki penampilan yang sederhana, Tugu Soeharto seringkali menjadi tempat kunjungan warga, terutama saat Malam Satu Suro. Pada malam pergantian tahun ini, tradisi kungkum atau beredam di tempuran dua aliran, Sungai Kaligarang dan Kali Kreo, menjadi momen ramai di sekitar tugu tersebut.

Meski masih banyak yang belum mengetahui hubungan sejarah antara Tugu Soeharto dan tradisi kungkum setiap Malam Satu Suro, ada kisah menarik di balik berdirinya tugu untuk mengenang mantan Presiden RI kedua tersebut.

Tugu Soeharto ini, menurut pemerhati sejarah Johanes Christiono, dibangun pada tahun 1965 oleh guru spiritual Soeharto sendiri. Saat itu, sang ‘Smiling General’ masih menjabat sebagai Pangdam IV Diponegoro.

“Ceritanya ketika agresi Belanda tahun 1947, Pak Harto terselamatkan di sini karena kungkum untuk bersembunyi,” ungkap Johanes.

Namun, Johanes mengakui bahwa ia tidak mengetahui secara detail alasan guru spiritual Soeharto, Romo Diyat, hingga memutuskan mendirikan sebuah tugu untuk “Bapak Pembangunan” tersebut.

“Tidak tahu untuk apa (didirikannya Tugu Soeharto),” papar Johanes dengan raut muka kebingungan.

Johanes menjelaskan bahwa Tugu Soeharto awalnya berdiri persis di tengah sungai. Sayangnya, bangunan tersebut roboh akibat banjir bandang pada tahun 1990. Namun, Tugu Soeharto kemudian dibangun kembali, dan beberapa tahun setelahnya, jembatan pun dibangun di atas sungai tersebut.

Terkait tradisi kungkum, Johanes enggan memberikan komentar panjang. Tradisi ini, menurutnya, muncul secara tiba-tiba dan semakin berkembang setelah Tugu Soeharto didirikan. Hingga saat ini, warga sekitar masih merawat tradisi peninggalan leluhurnya ini.

Mengenai alasan kungkum di Malam Suro, Johanes menyebutkan bahwa sepengetahuannya, tradisi ini dilakukan untuk membersihkan diri atau menolak bala. Malam Suro dianggap sebagai malam yang sakral dalam kepercayaan masyarakat Jawa.

“Rentan tahun 1970-2000, banyak yang mengikuti kungkum. Namun, seiring perkembangan zaman, alasan ikut kungkum menjadi beragam, mulai dari mencari jodoh hingga mencari nomor,” tutup Johanes dengan senyum dan gelak tawa.