SEMARANG, Banggasemarang.id – Sejarah tak lekang oleh waktu. Salah satu bagian dari perjalanan panjang menuju kemerdekaan Indonesia adalah Pertempuran Lima Hari di kota Semarang, yang juga dikenal dengan sebutan Palagan 5 Dina.
Peristiwa ini merupakan salah satu episode penting dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang berlangsung setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.
Kisah Pertempuran Lima Hari di Semarang melibatkan sisa-sisa pasukan Jepang di Indonesia dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sejarah Pertempuran Lima Hari ini diabadikan dalam Tugu Muda, yang berdiri megah di Simpang Lima, ibu kota Jawa Tengah.
Dari Proklamasi hingga Pertempuran
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, masih ada banyak prajurit Jepang yang tidak bisa pulang ke negara asal mereka. Banyak di antara mereka yang bekerja di pabrik-pabrik atau sektor lain. Seiring dengan kedatangan pasukan Sekutu, termasuk Belanda, yang datang untuk melucuti senjata dan memulangkan mantan tentara Jepang, ketegangan semakin meningkat.
Perlawanan dimulai pada 14 Oktober 1945, ketika 400 mantan tentara Dai Nippon Jepang yang bekerja di pabrik gula Cepiring melarikan diri dari pengawalan yang akan membawa mereka ke Semarang. Mereka melakukan perlawanan dan bergabung dengan pasukan Batalion Kidobutai di daerah Jatingaleh. Perlawanan ini dipicu oleh tewasnya Dr. Karyadi, seorang dokter yang ditembak oleh tentara Jepang saat melakukan pemeriksaan di Reservoir Siranda, salah satu sumber mata air di Kota Semarang. Rakyat Semarang sangat marah dan membalas serangan kepada tentara Jepang.
Lima Hari Berjuang
Pertempuran Lima Hari di Semarang dimulai pada 15 Oktober 1945 hingga 20 Oktober 1945. Pada dini hari tanggal 15 Oktober, kurang lebih 2.000 orang dari Batalion Kidobutai mendatangi Kota Semarang. Mereka disambut oleh angkatan muda Semarang yang didukung oleh TKR. Pertempuran sengit terjadi selama lima hari antara kedua pihak, dengan pasukan Kidobutai juga didampingi oleh pasukan Jepang lain yang dipimpin oleh Jenderal Nakamura.
Pertempuran ini berlangsung di empat titik di Semarang, yaitu Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan di depan Lawang Sewu (Simpang Lima). Lokasi-lokasi ini menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pertempuran.
Akhir dari Pertempuran Lima Hari
Agar pertikaian tidak berlanjut, pihak-pihak yang terlibat memutuskan untuk melakukan perundingan guna mencapai gencatan senjata. Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono mewakili Indonesia, sementara Letnan Kolonel Nomura, Komandan Tentara Dai Nippon, mewakili pihak Jepang. Perundingan ini juga dihadiri oleh Brigadir Jenderal Bethel dari pihak Sekutu. Perdamaian pun akhirnya tercapai.
Pada tanggal 20 Oktober 1945, pihak Sekutu melucuti seluruh persenjataan para tentara Jepang. Peristiwa heroik Pertempuran Lima Hari kemudian diabadikan melalui pembangunan Tugu Muda di Simpang Lima, Kota Semarang. Monumen yang megah ini mulai dibangun pada tahun 1952 dan diresmikan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 20 Mei 1953.