Wisata  

Lawang Sewu, Gedung Kuno yang Kental Sejarah dan Berselimut Mistis

SEMARANG, Banggasemarang.id – Jika Anda mengunjungi Kota Semarang, salah satu tempat wisata yang terkenal adalah Lawang Sewu. Walaupun saat ini Lawang Sewu digunakan sebagai tujuan wisata, bangunan tersebut juga memiliki narasi sejarah tentang perjuangan Indonesia.

Saat ini, Lawang Sewu berfungsi sebagai museum yang menampilkan berbagai jenis koleksi perkeretaapian Indonesia. Selain itu, gedung ini sering disewakan untuk acara-acara tertentu.

Walaupun banyak pengunjung yang datang, Lawang Sewu masih memancarkan kesan mistis yang kuat dari bangunannya. Sebelum menjadi museum dengan beragam koleksinya, gedung ini dikenal karena kesan menakutkan dan menyeramkan.

Sejarah Lawang Sewu

Lawang Sewu adalah penyebutan bahasa Jawa yang berarti “lawang” mempunyai arti pintu dan “sewu” mempunyai arti seribu. Kendati mempunyai arti seribu pintu namun jumlah pintu yg dimiliki gedung ini ternyata tidak sampai seribu, namun hanya 928 pintu.

Ternyata, bangunan yang sekarang dijadikan sebagai cagar budaya Kota Semarang adalah peninggalan Belanda. Lawang Sewu, yang terdiri dari 18.232 meter persegi, dibangun secara bertahap oleh arsitektur Belanda.

Gedung ini awalnya digunakan sebagai kantor perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Bangunan ini dimulai pada tahun 1900 dengan pembangunan gedung C, yang dulunya digunakan untuk percetakan karcis kereta api.

Saat kolonialisme Belanda berakhir, gedung ini berubah menjadi markas tentara Jepang dan tempat transportasi Jepang, dikenal sebagai Riyuku Sokyoku pada tahun 1942.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945, terjadi pertempuran selama 5 hari di Semarang yang mengakibatkan Lawang Sewu menjadi saksi bisu dari pertempuran tersebut. Pertempuran ini terjadi karena Dr. Kariadi, seorang dokter terampil dan juga pejuang meninggal karena ditembak dengan kejam oleh Jepang.

Waktu pertempuran, pasukan Jepang berada di Lawang Sewu dan AMKA (Angkatan Pemuda Kereta Api) berada di Wilhelminaplein (kini Tugu Muda). Para prajurit Jepang memiliki keunggulan dalam hal senjata dan jumlah di pertempuran ini.

Pada tahun yang sama, bangunan tersebut juga digunakan sebagai Kantor DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia). Tetapi, pada tahun 1946, bangunan ini direbut oleh Belanda dan digunakan sebagai markas militer mereka.

Gedung ini beralih fungsi sebagai Kodam IV Diponegoro setelah Republik Indonesia mengakui kedaulatan pada tahun 1949. Baru pada tahun 1994, gedung ini kembali digunakan oleh kereta api (Perumka), yang sekarang disebut PT Kereta Api Indonesia (Persero).

Pada tahun 2009, PT Kereta Api Indonesia (Persero) melakukan restorasi pada gedung ini. Lalu, pada tanggal 5 Juli 2011, gedung ini diresmikan sebagai Purna Pugar Cagar Budaya Gedung A Lawang Sewu.

Pemerintah menetapkan Lawang Sewu sebagai warisan bersejarah yang harus dijaga dan dilestarikan karena sejarahnya.

Arstikektur Lawang Sewu

Bangunan Lawang Sewu memiliki banyak pintu dan ventilasi yang menyerupai huruf L. Memiliki hiasan kaca patri asli dari pabrik Johannes Lourens Schouten. Kaca patri menggambarkan tentang keindahan Jawa, penguasaan Belanda atas Semarang dan Batavia, kota maritim, dan kejayaan kereta api.

Sementara itu, kubah mini pada zenit menara air Lawang Sewu dilapisi tembaga, sedangkan zenit menara dilapisi menggunakan hiasan perunggu.

Gedung Lawang Sewu menggunakan batu bata berwarna oranye dari keramik yang melambangkan kekayaan, kemakmuran, dan mencerminkan kelas sosial yang tinggi. Pada masa lampau, batu bata ini termasuk jenis yang sulit didapatkan dan memiliki harga yang tinggi.