Wisata  

Langgar Al Yahya, Jejak Sejarah yang Tertinggal di Gang Kampung Gandekan

SEMARANG, Banggasemarang.id – Tersembunyi di Gang Kampung Gandekan, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Langgar Al Yahya menawarkan kekayaan sejarah yang tak terduga. Musala kecil yang memiliki sejarah sejak tahun 1815 ini, konon masih mempertahankan orisinalitas material bangunannya sejak kali pertama berdiri.

Meski tampak sederhana dengan ukuran 4 x 5 meter, langgar ini mencuri perhatian dengan keunikan arsitekturnya. Atap yang menyerupai tajuk tumpuk tiga, mirip dengan Masjid Agung Demak, dan mustaka kecil yang mempertahankan arsitektur Jawa Kuno, memberikan kesan yang berbeda. Bahkan, lisplang berukir kayu di ujung genting menambah pesona kuno pada struktur bangunan.

Dinding langgar, yang terlihat lebih tebal daripada bangunan modern, dibangun dengan teknik khas. Batu bata ditumpuk dan diberi serbuk tanah liat kering agar merekat, kemudian ditutupi dengan plester pasir dan serbuk batu bata tanpa campuran semen.

Bagian dalam langgar yang didominasi warna putih menyambut pengunjung dengan daun pintu dan jendela hijau dari kayu jati yang tahan lama. Plafon yang juga terbuat dari kayu jati, dicat dengan warna cokelat muda, memberikan kesan hangat dan tradisional.

Pendiri Langgar Al Yahya

Mengintip ke belakang, kita bertanya-tanya siapa yang berjasa mendirikan langgar ini. Menurut pengurus langgar, Sugito, langgar ini adalah wakaf dari seorang saudagar lokal bernama Tasripin.

“Pak Tasripin, dikenal sebagai saudagar lokal dengan banyak properti, toko, dan bisnis perdagangan. Di sini, ada Kampung Kulitan yang juga merupakan wakaf beliau. Langgar ini dibangun untuk para pekerja yang membutuhkan tempat untuk salat. Awalnya, langgar ini bernama Musala Al Mutaqien sebelum akhirnya menjadi Al Yahya,” jelas Sugito seperti dilaporkan oleh TVonenews pada Minggu (9/4/2023).

Meskipun sederhana, Langgar Al Yahya tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan. Salat lima waktu, pengajian, dan salat tarawih di bulan Ramadan tetap berlangsung di sini. Warga sekitar yang menyadari nilai sejarahnya juga turut berpartisipasi dalam perawatan langgar dengan memberikan infaq melalui kotak amal atau donasi langsung.

“Kami bergantung pada sumbangan amal warga dan pengunjung musala. Dengan dana infaq ini, kami berusaha semaksimal mungkin merawat langgar bersejarah ini,” ujar Sugito dengan sepenuh tekad.