KOLAKA, Banggasemarang.id — Terkenang perjuangan dr Cipto Mangunkusumo yang namanya diabadikan di salah satu rumah sakit terbaik di Indonesia.
Hal itu karena pengabdiannya bertaruh nyawa untuk memutus rantai wabah pes atau penyakit black death di Malang tahun 1911.
Bahkan dokter-dokter terbaik Belanda saja saat itu tak berani untuk mengambil resiko karenanya pria yang juga ikut menggelorakan kemerdekaan RI itu diberi penghargaan atas keberaniannya menjadi relawan dokter terhadap penyakit menular pes.
Semangat teguh untuk terus berusaha membantu mengobati para pasien itu juga tertanam di diri sosok laki-laki kelahiran 13 September 1958 di Palopo Sulawesi Selatan.
Pasalnya, apoteker sekaligus perawat itu berusaha memberikan pelayanan terbaiknya kepada pasien dengan hampir tak mengharap upah bahkan selalu berucap untuk membayar seikhlasnya saja.
Ayahnya yang seorang angkatan militer yang juga merangkap sebagai guru yang mendirikan sekolah di pelosok desa Iwoimendaa Sulawesi Tenggara memegang teguh untuk mengajarkan hingga memberi manfaat kepada banyak orang.
Semisal sang apoteker ini dengan ikhlas mengantar obat untuk pasien penyandang ambeien akut yang menderita 10 tahun lamanya di pedalaman Wolo Sulawesi Tenggara.
Jarak yang panjang sekitar 57 km mengendarai sepeda motor tua bersama anak laki-lakinya, memotong jalanan sunyi berselimut tanah becek merah dan kerikil bebatuan, juga harus melewati jembatan dari batang pohon kelapa yang jika tak berhati-hati maka akan terjatuh ke dalam arus sungai.
Lepas mengantar obat, 2 minggu kemudian alhamdulillah pasiennya sembuh dan menyampaikan kabar baiknya dengan mengendarai sepeda motor seorang diri, bertandang ke rumah sederhana beliau yang bermaterialkan kayu dengan atap seng di jalan Usman Rencong Kolaka.
Penyakit yang cukup marak sejak tahun 2000 awal karena pola hidup dan genetik yang bahkan bayi satu tahun saja pernah ditanganinya.
Beliau memang tekun dalam memberi pengobatan dan meracik obat ambeien berbahan herbal yang menurutnya minim efek samping. Hanya efek gatal yang timbul ketika luka mengering.
Saat pasien kronik stadium 4 mengalami ambeien yang pecah maka kondisinya bisa berakibat fatal karena kekurangan darah dan kerusakan jaringan, dengan pengobatan alternatif dipercaya mampu memisahkan sel sehat dan mati sehingga benjolan yang timbul akan kempes hingga mengering dan akhirnya lama kelamaan akan pulih.
Selain kasus pasien ambeien, ada juga kasus pasien tanpa identitas dengan kondisi leher patah di puskesmas Lalombaa Kolaka, saat rekannya menggeleng kepala karena kemungkinan tidak adanya harapan lagi karena kondisi yang kronis dan minimnya fasilitas.
Tapi laki-laki lulusan Sekolah Menengah Farmasi Makassar itu tetap berusaha merawatnya, memberi pelayanan yang terbaik hingga saat detik terakhir pasien mengembus napas setelah 3 hari berjuang untuk hidup dan akhirnya dijemput keluarganya.
Beliau sangat sedih melihat pasiennya yang tidak berhasil menjalani perawatan, tapi yang jelas ia harus selalu berusaha dan memberi perawatan yang optimal meski terbatas oleh alat medis dan SDM.
Tidak hanya telaten dalam merawat orang atau meracik obat, laki-laki yang memiliki 5 anak itu juga senantiasa menyambung tali silaturahmi dengan pasien bahkan pasca pengobatan.
Seringnya bahkan menjadi teman baik dan akrab. Demikianlah sosok ASN yang memiliki kepribadian piawai yang sangat ramah.
Bertemu orang yang tak dikenalnya saja misal saat berteduh karena kehujanan, orang-orang akan senang menyambutnya mempersilahkannya bertandang ke ruang tamu hingga mencicipi teh hangat kental manis hingga kudapan khas Bugis.
“Saya lagi perjalanan dari Kolaka menemui pasien di desa Wolo tapi tiba-tiba hujan,” sahutnya tersenyum kepada pemilik rumah.
Jika para pasien terkendala tak kuat untuk sekedar bangun mengobati sakitnya terutama yang tinggal di pedalaman maka beliau yang akan menjenguk pasiennya, meracikannya obat hingga kondisinya membaik dengan upah seikhlasnya sesuai kesanggupan pasien.
Meskipun ia hanya lulusan sekolah menengah kejuruan namun ia sangat terampil dan suka belajar, ia bisa meracik obat untuk pasien menyesuaikan kondisi mereka mulai dari obat berbahan kimia hingga herbal.
Karenanya menjadi anaknya atau bagian keluarganya adalah kebanggaan tersendiri memiliki sosok berbudi luhur dari pria sederhana yang tidak begitu menaruh perhatiannya terhadap keuntungan menjadi tenaga medis dalam biaya pengobatan pasien.
“Yang penting pasien saya bisa kembali sehat, tidak masalah soal biaya, bayar seikhlasnya saja.”
Beliau bekerja dari puskesmas hingga ke rumah sakit di kabupaten Kolaka, mulai dari puskesmas Lalombaa, Latambaga, Kolakaasi hingga RS Benyamin Guluh.
Mengabdikan dirinya sebagai Tenaga Kesehatan atau Tenaga Medis sejak lulus dari sekolah menengah farmasi atau sejak tahun 1975 pasca 30 tahun setelah Indonesia merdeka.
Ia beberapa kali sempat kuliah namun tak pernah lulus dan meraih gelar sarjananya lantaran tak pernah sanggup membayar biaya kuliah karena juga harus bekerja untuk keluarganya.
Kemudian tak memiliki ijazah perguruan tinggi karenanya posisinya sebagai tenaga medis juga menyesuaikan gelarnya, namun rekan sesama perjuangannya sangat baik dan mencintainya.
Bahkan diam-diam mengobatinya saat ada benjolan yang tumbuh di belakang punggungnya. Ia sangat mengingat momen itu dan tak pernah melupakannya.
Pernah beliau berdiskusi dengan seorang professor soal pengobatan, saat prof tersebut bersikukuh kalau tidak semua penyakit ada obatnya.
“Jika ada penyakit yang memang tidak ada obatnya? Apakah semua ilmu sudah pernah ditulis di muka bumi ini?”
Menurutnya ilmu Allah itu luas, kita hanya bisa terus berusaha dan mempelajari banyak hal karena terlalu melimpah pengetahuan yang belum tercatat oleh pena.
Bahkan ia masih mempertanyakan kenapa reaksi obat dalam negeri dan luar negeri berbeda padahal kandungan dan dosisnya sama?
Sosok bersahaja yang tak hanya baik pada pasiennya juga kepada keluarganya, suami terbaik, seorang bapak yang menjadi panutan untuk anak-anaknya.
Seorang ayah yang mengajarkan kebaikan tanpa banyak berkata-kata hanya memberi teladan dengan sedikit berkisah.
Bapak yang baik nan penyayang namun sangat tegas saat anak-anaknya mengindahkan nasehat maka rotan akan mendarat ke kaki mereka.
Ia adalah sosok yang akan selalu dikenang dengan semangatnya membantu pasien di kabupaten bahkan hingga pelosok desa tanpa pamrih.
Menjadi bagian dari keluarganya adalah hal yang membanggakan dan mengharukan. Kisah perjuangannya yang hingga saat mengembus napas di tahun 2016 sangat menoreh hati.
Genap sudah pengabdiannya selama 40 tahun menjadi tenaga kesehatan di daerah menjadi saksi akan minimnya fasilitas dan SDM yang menangani kasus medis sejak tahun 1975 atau 30 tahun sejak kemerdekaan Indonesia.
Beliau adalah bapak Jabal Nur yang menjadi ayah mertuaku di awal tahun 2024. Meskipun tak sempat bertemu dan mencium haru punggung tangannya namun kisahnya akan terus dikenang.
Menjadi lembaran cerita bijak yang dijadikan pelajaran kecil berharga untuk para pahlawan tenaga medis yang menjadi garda terdepan memberi perawatan terbaik untuk para pasien.***