SEMARANG, Banggasemarang.id – Ike (31), masih ingat betul bagaimana harum aroma hio kerap menyelinap masuk ke jendela rumah kontrakannya setiap pagi.
Aroma itu datang bersamaan dengan suara muazin dari surau di ujung gang yang memanggil umat Muslim menunaikan Subuh.
Di Semarang, Ike tidak membutuhkan alarm untuk tahu bahwa hari telah dimulai dengan baik-baik saja.
Bagi perempuan Katolik asal Pekalongan itu, harmoni bukanlah istilah akademik atau jargon buku Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan piring berisi takjil yang berpindah tangan antar pagar saat Ramadan, atau kesediaan tetangganya yang Muslim untuk berjaga di depan gerbang gereja ketika ia mengikuti Misa besar.
Di kota ini, perbedaan tidak pernah berisik. Ia bekerja dalam sunyi, seperti detak jantung yang memastikan seluruh tubuh tetap hidup. Semarang memang kerap disebut sebagai salah satu kota paling toleran di Indonesia.
Namun, menyederhanakannya sebagai sekadar prestasi atau label kebanggaan justru mengaburkan cerita panjang di baliknya.
Harmoni di kota pesisir ini tidak lahir dari baliho seremonial atau kebijakan yang turun dari ruang rapat pemerintah. Ia tumbuh perlahan, mengendap dalam keseharian warga, dan diwariskan tanpa banyak kata.
Jejak itu bisa dibaca dari wajah kota. Di kawasan Pecinan, arsitektur peranakan berdiri berdampingan dengan Masjid Layur yang temboknya tetap teguh meski dikepung bangunan tua bercat merah.
Beberapa ratus meter dari sana, Gereja Blenduk dengan kubah ikoniknya menghadap bangunan kolonial yang kini dipenuhi aktivitas ekonomi. Warna, suara, dan aroma bercampur tanpa perlu diseragamkan.
Menurut Mukhamad Sokheh, S.Pd., M.A., Ph.D., dosen sejarah Universitas Negeri Semarang (UNNES), kondisi ini merupakan buah dari perjalanan sejarah yang panjang.
Semarang sejak awal adalah kota pelabuhan, ruang temu berbagai bangsa, agama, dan kepentingan. Perjumpaan yang terjadi berulang kali membentuk karakter masyarakatnya.
“Struktur sosial Semarang adalah warisan panjang perjumpaan antarbangsa,” ujar Sokheh dalam sebuah diskusi daring Bangga Semarang, Rabu, 3 Desember 2025.
Ia menekankan bahwa harmoni sosial tidak bisa didesain atau dipaksakan.
“Ia lahir dari kesadaran kolektif, dari budaya masyarakat yang terbiasa hidup bersama perbedaan,” katanya.
Kesadaran itu terasah lewat interaksi sehari-hari. Seorang pedagang Tionghoa di Gang Baru dapat bersenda gurau dengan kuli panggul asal pesisir tanpa sekat formalitas.
Bahasa Semarangan yang cair menjadi penanda bahwa relasi sosial dibangun di atas keakraban, bukan kecurigaan.
Dalam situasi seperti itu, perbedaan keyakinan tidak tampil sebagai ancaman, melainkan latar yang menyertai kehidupan bersama.
Nilai lokal tepa selira ikut menjadi penyangga penting. Filosofi Jawa ini mengajarkan kepekaan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain.
Ia tidak berhenti pada sikap membiarkan, tetapi mendorong upaya memahami. Ketika hari raya tiba, nilai ini menjelma dalam tindakan sederhana: saling berkunjung, bertukar makanan, atau menjaga ketenangan lingkungan agar ibadah masing-masing berjalan khusyuk.
Pengalaman Ike menjadi contoh bagaimana nilai itu bekerja dalam skala paling personal. Ia bercerita sambil tersenyum kecil ketika mengingat momen menjelang Natal tahun lalu. Saat gerejanya menggelar misa besar, beberapa pemuda Muslim di lingkungannya ikut membantu mengatur parkir.
“Mereka bilang, supaya ibadahnya tenang,” ujar Ike.
Baginya, dukungan itu jauh lebih bermakna daripada sekadar ucapan selamat.
Bukan berarti tanpa gesekan. Ike mengakui pernah mendengar komentar sinis dari orang luar lingkungan tempat tinggalnya. Namun, ia melihat bagaimana tokoh agama setempat segera turun tangan meredam situasi.
“Biasanya diselesaikan dengan ngobrol. Dijelaskan pelan-pelan,” katanya. Cara itu, menurut Ike, membuat konflik kecil tidak sempat membesar.
Cerita serupa datang dari Khoiriyah (47), warga Semarang beragama Islam yang bekerja di sebuah yayasan non-Islam.
Dalam keseharian kantor, ia justru merasa perbedaan keyakinan tidak pernah menjadi soal. Rekan-rekannya terbiasa saling mengingatkan jadwal ibadah.
“Kalau sudah masuk waktu sholat, saya sering diingatkan,” ujarnya.
Dukungan itu terasa semakin nyata saat Ramadan. Khoiriyah mengisahkan bagaimana rekan kerjanya menyesuaikan agenda rapat agar tidak berbenturan dengan waktu berbuka. Pada momen Idul Adha, solidaritas kembali tampak. Proses pembagian daging kurban dibantu oleh rekan-rekan yang berbeda iman.
“Kami bekerja bersama, tanpa rasa canggung,” katanya.
Alih-alih melontarkan pernyataan normatif, Khoiriyah memilih menyebut peristiwa kecil yang membekas. Suatu ketika ia sakit dan harus izin beberapa hari. Rekan-rekannya bergantian mengirim makanan ke rumah. “Saat itu saya merasa benar-benar ditemani,” ujarnya pelan.
Kisah-kisah ini memperlihatkan bahwa harmoni sosial di Semarang bergerak melalui relasi antarindividu. Ia tidak selalu tampak megah, tetapi hadir dalam tindakan-tindakan kecil yang konsisten. Sokheh menyebut kondisi ini sebagai modal sosial yang penting bagi keberlanjutan kota.
Kerja lintas suku dan agama dalam dunia usaha, gotong royong di lingkungan kampung, hingga dukungan dalam perayaan keagamaan menciptakan rasa aman.
Ketenteraman ini, menurut Sokheh, membuat warga dapat bekerja dan beraktivitas tanpa bayang-bayang konflik. Rasa aman itulah yang kemudian menopang pembangunan.
Tantangan terbesar justru terletak pada generasi muda. Sokheh mengingatkan agar kebanggaan terhadap Semarang tidak berhenti pada kuliner atau bangunan bersejarah. Pemahaman terhadap sejarah keberagaman kota menjadi bekal agar anak muda tidak mudah terprovokasi isu SARA.
“Pemahaman lahir dari pengetahuan, dan pengetahuan menumbuhkan sikap saling menghargai,” ujarnya.
Pada akhirnya, Semarang mengajarkan bahwa harmoni tidak lahir dari keseragaman. Ia tumbuh dari kesediaan untuk hidup berdampingan, menerima perbedaan sebagai bagian dari napas sehari-hari.
Di Kota Atlas, nilai itu tidak diteriakkan. Ia dirawat dalam diam, dijalani bersama, dan diwariskan lintas generasi.












