History on Screen UNNES: Belajar Sejarah Lewat Film di Kota Lama Semarang

History on Screen telah menunjukkan bahwa sejarah tidak harus selalu megah dalam bentuk monumen beton atau buku-buku tebal.

Suasana Kota Lama Semarang terasa berbeda siang itu. Di balik dinding tua Rumah Po Han, puluhan anak muda berkumpul bukan sekadar untuk berteduh, melainkan menyelami lorong waktu lewat acara "History on Screen". Program inovatif dari mahasiswa Ilmu Sejarah UNNES ini menyuguhkan pengalaman sinematik yang memukau lewat dua film sejarah berjudul Napak dan Methuk. (foto: Rafi/Bangga Semarang)

SEMARANG, Banggasemarang.id — Jam menunjukkan pukul satu siang ketika cahaya matahari Kota Lama Semarang menyusup pelan melalui jendela-jendela tua Rumah Po Han.

Bangunan bersejarah yang berdiri kokoh di tengah kepungan modernitas itu siang itu tak sekadar menjadi ruang pemutaran film. Ia menjelma menjadi sebuah lorong waktu tempat masa lalu diputar kembali, lengkap dengan luka, amarah, dan penyesalan yang tak sempat tercatat dalam buku-buku sejarah konvensional.

Di dalam ruangan dengan langit-langit tinggi, kursi-kursi besi berderit pelan saat anak-anak muda dari berbagai kalangan duduk berhadap-hadapan dengan layar putih yang membentang.

Sebagian penonton bersandar santai, namun sebagian lagi duduk tegak dengan tatapan tajam, seolah tak ingin melewatkan satu pun fragmen adegan yang muncul. Mereka bukan sekadar menonton film; mereka sedang diajak menatap sejarah dari jarak yang sangat dekat, bahkan terasa sangat personal.

Inilah History on Screen, sebuah program perdana yang diinisiasi oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah FISIP Universitas Negeri Semarang (UNNES).

Pada Jumat siang yang terik itu, mereka menayangkan dua film pendek sejarah berjudul Napak dan Methuk, sebuah karya visual yang berusaha memanusiakan kembali angka-angka dalam teks sejarah.

Membedah Isu Diskriminasi dalam Film ‘Napak’

Sejarah bukan hanya soal deretan angka tahun, tapi soal manusia dan luka yang diwariskan. Hal ini tergambar jelas dalam pemutaran film pendek karya mahasiswa UNNES di Kota Lama Semarang. (Foto: Rafi)

Dua film, dua cerita, dan dua potret luka yang berbeda dipaparkan secara bergantian. Namun, keduanya bertemu pada satu titik yang sama: sejarah bukan hanya tentang tanggal-tanggal mati atau peristiwa besar yang melibatkan para jenderal, melainkan tentang manusia dan rasa sakit yang diwariskan lintas generasi.

Film pertama, Napak, disutradarai oleh Shelly. Ia membawa penonton pada kisah seorang pekerja asal Jawa yang memutuskan untuk berpindah ke Sumatra demi mencari penghidupan yang lebih baik.

Namun, alih-alih menemukan kesejahteraan dan ruang baru untuk berkembang, ia justru berhadapan dengan tembok tebal bernama diskriminasi. Ironisnya, diskriminasi itu tidak datang dari bangsa asing, melainkan dari sesama anak negeri.

Shelly mengeksekusi isu ini dengan sangat halus. Diskriminasi dalam Napak tidak ditampilkan melalui kekerasan fisik yang berlebihan, melainkan hadir dalam detail-detail kecil yang justru lebih menyakitkan: tatapan meremehkan, nada bicara yang dingin, serta perasaan tidak diakui di tanah sendiri.

Justru karena pendekatan inilah, ceritanya terasa begitu dekat dengan realitas sosial kita hari ini. Bagi sebagian penonton, kisah ini adalah cermin dari pengalaman sehari-hari tentang pahitnya perantauan dan gesekan identitas suku yang seringkali tersembunyi di bawah karpet wacana persatuan.

“Di era sekarang, diskriminasi itu masih kerasa banget,” ujar Shelly dalam sesi diskusi usai pemutaran film.

Ia menekankan bahwa perbedaan suku, yang seharusnya menjadi kekayaan bangsa, kerap kali justru melahirkan rasa tersaingi dan jarak sosial di masyarakat bawah. Melalui Napak, Shelly ingin menunjukkan bahwa persoalan integrasi sosial ini belum benar-benar selesai sejak zaman kolonial hingga saat ini.

Proses pembuatan film ini pun menjadi tantangan tersendiri bagi para mahasiswa. Berlangsung singkat, hanya sekitar dua hingga tiga minggu dari tahap syuting hingga penyuntingan, tantangan terbesarnya justru terletak pada sumber daya manusia.

Sebagian besar tim merupakan mahasiswa sejarah yang belum memiliki dasar teknik perfilman. Mereka harus belajar dari nol mengenai cinematography, lighting, hingga sound engineering. Namun bagi Shelly, Napak bukan hanya sekadar karya film, melainkan ruang belajar kolektif untuk menyampaikan narasi sejarah dengan cara yang lebih modern.

Menguak Tragedi ‘Methuk’ dan Kelamnya Isu Jugun Ianfu

Bagaimana cara membuat belajar sejarah menjadi tidak membosankan? Mahasiswa FISIP UNNES punya jawabannya lewat program “History on Screen”. Bertempat di Rumah Po Han, mereka mengubah arsip kusam menjadi karya visual yang menarik bagi anak muda. (Foto: Rafi)

Tepuk tangan terdengar pelan ketika film pertama berakhir. Bukan tepuk tangan riuh yang meledak, melainkan sebuah jeda hening yang seolah menandakan bahwa cerita tersebut belum sepenuhnya selesai di kepala penonton. Suasana kemudian berubah total saat layar menampilkan judul film kedua: Methuk.

Film karya Abrar Rizq Ramadhan ini membawa penonton jauh ke belakang, tepatnya ke Pemalang di pesisir Pantai Utara Jawa pada tahun 1943, di tengah masa pendudukan militer Jepang yang brutal. Cerita berpusat pada tokoh Rini, seorang perempuan muda yang dihadapkan pada sebuah pilihan sulit ketika pihak desa menawarkan sebuah program pendidikan yang menjanjikan masa depan cerah.

Namun, perlahan namun pasti, kebenaran pahit terungkap. Tawaran pendidikan tersebut hanyalah sebuah kedok, sebuah tipu daya sistematis untuk merekrut perempuan-perempuan desa menjadi Jugun Ianfu, budak seks bagi tentara Jepang.

Methuk tidak semata-mata mengeksploitasi kekerasan, tetapi mengajak penonton menelusuri bagaimana sistem penindasan itu bekerja, bagaimana kebohongan disusun secara rapi, dan bagaimana oknum-oknum lokal terkadang ikut terlibat dalam struktur kekuasaan tersebut.

“Perempuan seringkali disisihkan dari panggung sejarah utama,” ujar Abrar dengan nada serius.

Lewat film ini, ia ingin memperlihatkan bahwa tragedi kemanusiaan tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada struktur kuasa, tekanan sosial dari komunitas, dan keputusan-keputusan kecil dari orang terdekat yang akhirnya membawa dampak traumatis seumur hidup.

Salah satu adegan paling kuat dalam Methuk hadir di bagian akhir film. Kamera perlahan melakukan zoom in ke arah wajah Bambang, kakak laki-laki Rini, yang diliputi penyesalan luar biasa karena telah memaksa adiknya menerima tawaran maut tersebut.

Tanpa dialog panjang, ekspresi kosong Bambang berbicara lebih lantang daripada ribuan kata. Penyesalan itu menjadi simbol dari ribuan cerita serupa di masa lalu yang tak pernah benar-benar masuk dalam buku sejarah sekolah kita yang kaku.

Inovasi Pembelajaran: Sejarah dalam Genggaman Visual

Di balik layar pemutaran di Rumah Po Han ini, History on Screen sebenarnya merupakan proyek besar satu semester penuh bagi mahasiswa. Mulai dari riset arsip-arsip tua di perpustakaan, penulisan naskah yang harus akurat secara historis, hingga proses produksi di lapangan, semuanya menjadi bagian integral dari cara baru belajar sejarah di UNNES.

Bambang Rahmanto, dosen Ilmu Sejarah UNNES, menyebutkan bahwa program ini adalah jawaban atas tantangan zaman. Di era digital, sejarah tidak boleh lagi berhenti sebagai hafalan nama pahlawan dan tanggal pertempuran yang membosankan.

“Supaya anak-anak muda tahu sejarahnya, tahu akarnya,” kata Bambang. Ia meyakini bahwa film adalah medium yang paling efektif untuk menjembatani data sejarah yang kaku dengan empati sosial penonton. Sejarah harus hadir sebagai sebuah pengalaman emosional agar nilai-nilainya bisa diserap oleh generasi masa kini.

Pemilihan Rumah Po Han di kawasan Kota Lama Semarang pun memiliki makna simbolis yang kuat. Bangunan tua ini dianggap representatif, sarat akan makna historis, dan menjadi simbol kolaborasi antara akademisi dengan pengelola cagar budaya. Dinding-dinding tuanya seolah ikut berbicara, menjadi saksi bisu atas dialog yang terjadi antara masa lalu yang kelam dengan masa kini yang penuh harapan.

Bagi para mahasiswa dan pengajar di Ilmu Sejarah UNNES, pemutaran ini bukanlah titik akhir. Masukan dari penonton serta kritik publik menjadi bekal berharga untuk keberlanjutan program History on Screen di tahun-tahun mendatang.

Kesadaran akan keterbatasan teknis justru menjadi pemacu semangat mereka untuk terus mengeksplorasi arsip-arsip sunyi yang selama ini terabaikan.

Ketika acara berakhir, satu per satu penonton mulai meninggalkan ruangan. Sore perlahan turun di Kota Lama Semarang, menyisakan cahaya matahari yang memantul di jalanan batu yang basah. Di dalam kepala setiap penonton, potongan-potongan cerita tentang Rini, Bambang, dan pekerja Jawa di Sumatra tadi masih terus berputar, memancing permenungan mendalam.

History on Screen telah menunjukkan bahwa sejarah tidak harus selalu megah dalam bentuk monumen beton atau buku-buku tebal. Ia bisa hidup dalam cerita sederhana yang jujur, dalam wajah-wajah manusia yang terluka, dan dalam keberanian generasi muda untuk membuka kembali lembaran masa lalu.

Di Rumah Po Han siang itu, layar pemutaran boleh saja padam, tetapi api ingatan, empati, dan kesadaran sejarah justru menyala lebih terang di hati setiap orang yang hadir.