SEMARANG, Banggasemarang.id — Menjelang sore, pelataran Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) mulai dipenuhi langkah-langkah yang tenang.
Ada jamaah yang datang lebih awal untuk beribadah, ada pula pengunjung yang berhenti sejenak, memandang kubah besar yang menjulang dan payung-payung raksasa yang berdiri kokoh.
Suasana di kawasan masjid terasa lapang—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara makna. Di tempat ini, Semarang seakan bercerita tentang dirinya sendiri.
Bagi sebagian orang, MAJT adalah tujuan ibadah. Namun bagi Kota Semarang, masjid ini telah berkembang menjadi simbol yang lebih luas: tentang rasa syukur, tentang peradaban, dan tentang keberagaman yang telah lama menjadi bagian dari identitas kota pelabuhan ini.
Masjid Agung Jawa Tengah lahir dari sebuah gagasan besar yang berangkat dari kesadaran kolektif.
Kepala Bagian Humas dan Pemasaran MAJT, Beni Arif Hidayat menjelaskan bahwa ide pendirian masjid ini diinisiasi oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu, Mardiyanto, bersama tokoh-tokoh masyarakat Jawa Tengah.
Gagasan tersebut diwujudkan sebagai monumen rasa syukur sekaligus pusat kegiatan keislaman yang terbuka bagi masyarakat.
“Masjid Agung Jawa Tengah ini dibangun sebagai bentuk rasa syukur. Prosesnya cukup panjang dan berawal dari inisiasi Gubernur Jawa Tengah saat itu, Bapak Mardiyanto, bersama para tokoh masyarakat Semarang dan Jawa Tengah,”kata Beni.
Dari gagasan itu, MAJT kemudian dirancang sebagai sebuah kompleks Islamic Center yang berdiri di atas tanah wakaf seluas kurang lebih 10 hektare.
Sejak awal, masjid ini tidak dimaksudkan hanya sebagai bangunan ibadah, tetapi sebagai ruang hidup yang menyatu dengan aktivitas sosial masyarakat.
Proses perancangannya dilakukan melalui lomba desain arsitektur, sebuah langkah yang membuka ruang dialog ide dan konsep. Hasilnya adalah rancangan bangunan dengan ciri yang kuat: perpaduan arsitektur Jawa, Eropa, dan Arab.
Pembangunan fisik dimulai pada 2001 dan diresmikan pada 2006.
Menurut Beni, perpaduan tersebut bukan sekadar soal estetika, melainkan cerminan visi besar MAJT.
“Desainnya tidak hanya menampilkan budaya Jawa, tetapi juga dipadukan dengan unsur Eropa dan Arab, agar menunjukkan bahwa peradaban Islam itu bersifat universal dan mendunia,” jelasnya.
Perpaduan itu tampak jelas di setiap sudut MAJT. Unsur Jawa hadir dalam filosofi ruang dan tata letak yang mengedepankan keseimbangan.
Sentuhan Eropa terlihat pada skala dan kemegahan struktur bangunan. Sementara nuansa Arab terasa kuat melalui ornamen, simbol religius, dan karakter arsitektur masjidnya. Semua unsur itu tidak saling meniadakan, tetapi justru membentuk satu kesatuan yang harmonis.
Seiring berjalannya waktu, MAJT berkembang menjadi ruang publik yang hidup. Aktivitas di kawasan masjid tidak berhenti pada waktu-waktu salat.
Berbagai kegiatan sosial, keagamaan, budaya, hingga pergerakan ekonomi kecil masyarakat sekitar tumbuh dan berlangsung berdampingan.
“MAJT ini bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga diharapkan bisa menumbuhkan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, melestarikan budaya yang ada, serta menjadi ikon Kota Semarang,” kata Beni.
“Karena bangunannya yang monumental, MAJT juga sering disebut sebagai mutiara Jawa Tengah,”imbuhnya.
Peran MAJT sebagai ikon kota tidak lepas dari posisinya di tengah masyarakat Semarang yang majemuk. Sebagai kota yang sejak lama menjadi ruang pertemuan berbagai etnis dan budaya, Semarang membutuhkan simbol pemersatu—dan MAJT mengambil peran tersebut.
“MAJT berperan dalam membangun tatanan kemasyarakatan dan menjaga kerukunan di Kota Semarang. Kami menjalin komunikasi dan sinergi dengan berbagai pihak untuk menjaga kerukunan antarumat beragama,” ungkap Beni.
Bagi pengelola MAJT, tantangan ke depan adalah menjaga agar masjid ini tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya.
“Dengan adanya MAJT, kami berharap perkembangan peradaban dan budaya Islam bisa mengikuti perkembangan zaman, tetapi tetap tidak melenceng dari nilai-nilai dasarnya,” tutur Beni.
“Artinya, tetap menjaga jati diri Kota Semarang sebagai kota yang multikultural, harmonis, dan rukun.”

Di tengah laju modernisasi, ketika kota terus tumbuh dan berubah, MAJT berdiri sebagai penanda bahwa identitas tidak dibangun secara instan. Ia dirawat melalui ruang, simbol, dan kesediaan untuk hidup berdampingan.
Di bawah kubah besar MAJT, Semarang tidak hanya bersujud—tetapi juga mengingat, merayakan keberagaman, dan menatap masa depan dengan pijakan sejarah.
Pandangan tersebut sejalan dengan perspektif sejarah.
Sejarawan Universitas Negeri Semarang (UNNES) Mukhamad Shokheh menilai MAJT sebagai simbol penting identitas Semarang modern.

Dalam sebuah podcast yang disiarkan pada 3 Desember 2025, ia menegaskan bahwa masjid tidak bisa dipahami hanya dari satu sisi.
“Masjid bukan hanya berdimensi agama, tapi juga ada dimensi sosial dan budaya dari jati diri suatu komunitas,” ujar Shokheh.
Menurutnya, MAJT mencerminkan wajah Semarang yang kosmopolit—kota yang sejak lama dibentuk oleh perjumpaan berbagai kebudayaan.
“MAJT dengan desain yang kosmopolit menjadi pusat peradaban, tidak hanya keagamaan, tetapi juga aktivitas ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan,” kata Shokheh.
Karakter kosmopolit tersebut tidak hadir secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari sejarah panjang Semarang sebagai kota pelabuhan dan ruang akulturasi.
Salah satu simbol kuat dari akulturasi itu adalah tradisi Warak Ngendog, yang merepresentasikan pertemuan budaya Jawa, Tionghoa, dan Arab.
“Warak Ngendog menggambarkan keharmonisan budaya Jawa, Tionghoa, dan Arab yang bertemu dalam identitas Semarang,” jelas Shokheh.
Dalam berbagai perayaan, arak-arakan Warak Ngendog kerap melibatkan MAJT sebagai bagian dari rutenya.
Hal ini mempertegas posisi MAJT bukan hanya sebagai bangunan keagamaan, tetapi juga sebagai ruang simbolik yang mengikat ingatan sejarah dan identitas kota.
Video Sejarah Akulturasi Semarang: Harmoni Budaya Jawa, Tionghoa, & Arab | Podcast Bangga Semarang












