SEMARANG, Banggasemarang.id — Aroma dan rasa manis gudeg yang berpadu dengan makanan khas yang lain di sebuah gang sempit Pecinan Semarang.
Dengan banyaknya Lampion-lampion merah yang menggantung diantara tali panjang, warna merah mulai hilang karena dimakan usia, bergerak secara pelan tertiup angin dengan matahari siang yang sangat terik.
Diantara kehidupan yang berjalan ada tangan yang sudah masuk usia renta Bu Yani bergerak untuk membuka wajan besar, melipat daun pisang, lalu menyendok nasi dengan sabar.
Uap panas mengepul, menyatu dengan riuh percakapan pembeli dalam tawar menawar Di gang kecil ini, di kehidupan Lampion Merah, semua perbedaan tak pernah menjadi alasan dan jarak,tetapi menjadi bumbu yang tak pernah hilang di tempat ini.
Pecinan Semarang tidak hanya kawasan yang sudah ada dari jaman dahulu dan bertahan di tengah globalisasi yang sangat cepat pada jaman ini.
Pecinan Semarang ini telah hidup sejak abad ke-17, ketika etnis Tionghoa mulai bermukim dan menjadikannya pusat perdagangan pada masa kolonial Belanda.
Letaknya di Kauman—tak jauh dari Kota Lama—menjadikannya simpul pertemuan sejarah, ekonomi, dan budaya. Istilah “pecinan” sendiri merujuk pada ruang hidup: tempat orang bekerja, berinteraksi, dan membangun keseharian.
Sejarawan Universitas Negeri Semarang (UNNES) Mukhamad Sokheh saat menjadi narasumber dalam Podcast Bangga Semarang, baru-baru ini mengatakan bahwa jejak Pecinan tak bisa dilepaskan dari pelayaran Laksamana Cheng Ho.
Aktivitas perdagangan yang ia bangun melahirkan ruang ibadah yang kini dikenal sebagai Kelenteng Sam Poo Kong. Sejak saat itu, kawasan ini tumbuh bukan hanya sebagai pusat ekonomi, tetapi juga sebagai ruang perjumpaan lintas budaya yang bertahan hingga kini.
Gerbang Pecinan berdiri kokoh dengan dominasi warna merah. Huruf-huruf Cina terukir tegas, seolah menyambut siapa pun yang melintas tanpa tanya asal-usul. Di balik gerbang itu, kehidupan berjalan apa adanya. Roda ekonomi berputar di antara kabel listrik yang saling bersilangan, suara tawar-menawar ibu-ibu, dan deru kendaraan yang sesekali memecah gang sempit.

Bu Yani telah puluhan tahun berjualan gudeg di sana. Kerutan di tangannya semakin dalam setiap kali ia menutup wajan, namun senyumnya tak pernah berkurang. “Kalau sudah masak, rasanya seperti ngobrol sama diri sendiri,” ujarnya pelan, sembari menyeka keringat di dahi. Gudeg buatannya bukan sekadar dagangan. Ia adalah penanda waktu—saksi perubahan kawasan yang dulu lebih sunyi, kini semakin ramai.
Penerimaan itu tak tertulis di spanduk atau slogan. Ia hadir dalam gestur kecil: saling meminjam timbangan, berbagi lapak, hingga menyapa dengan panggilan akrab “Koko” dan “Cici” yang kini melampaui sekat etnis. Di kawasan ini, sapaan menjadi jembatan.
Harmoni di Pecinan Semarang bukan hanya hidup di keseharian, tetapi juga dirayakan melalui budaya. Setiap Agustus, kawasan ini berubah menjadi panggung terbuka. Barongsai meliuk di antara kerumunan, musik tradisional Tionghoa menggema, dan warga tumpah ruah memenuhi jalan. Bu Yani menuturkan, perayaan itu selalu dinanti.
“Yang nonton bukan cuma satu etnis. Semua datang, semua senang,” katanya dengan mata berbinar. Begitu pula saat Imlek tiba—perayaan itu menjelma pesta rakyat, dirayakan bersama tanpa sekat.
Tak jauh dari sana, Pasar Semawis menjadi denyut malam Pecinan. Di bawah temaram lampu gantung, denting wajan beradu dengan sodet bersahutan dengan tawa pengunjung. Bahasa Jawa medok bercampur dengan logat Tionghoa, menyatu dalam tawar-menawar yang hangat. Seorang pedagang menyeka keringat, lalu tersenyum lebar saat menyerahkan kembalian kepada mahasiswi berhijab. Di atas meja kayu yang berminyak, tak ada lagi “kami” dan “mereka”.
Yang ada hanyalah cerita tentang sate semalam dan rencana esok hari. Pasar Semawis buka setiap Jumat hingga Minggu, menjadi ruang di mana toleransi bekerja secara alami.
Di antara rumah toko berornamen merah dan kelenteng-kelenteng tua, masa lalu dan masa kini saling menyapa. Pecinan Semarang mengajarkan bahwa solidaritas tak harus menunggu festival atau seremoni besar.
Ia tumbuh dari kebiasaan kecil: memasak, berdagang, saling menyapa, dan bertahan bersama. Di gang-gang sempit itu, harmoni bukan wacana—ia hidup, mengepul bersama uap nasi, dan mengendap dalam rasa yang dibawa pulang setiap orang.
Video Sejarah Akulturasi Semarang: Harmoni Budaya Jawa, Tionghoa, & Arab | Podcast Bangga Semarang












