PEKALONGAN, Banggasemarang.id – Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah terus mematangkan payung hukum terkait ketertiban umum di masyarakat.
Langkah ini diwujudkan melalui Uji Publik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat (Trantibumlinmas) yang digelar di Amandaru Hotel, Kota Pekalongan, pada Senin (8/12).
Kegiatan ini menjadi momentum strategis untuk menyosialisasikan sekaligus menjaring aspirasi publik guna merespons berbagai dinamika sosial yang berkembang pesat di Jawa Tengah.
Perwakilan Ketua Bapemperda Provinsi Jawa Tengah, Putro Negoro Rekthosetho, menegaskan bahwa peningkatan mobilitas masyarakat, kepadatan ruang publik, aktivitas ekonomi informal, hingga kebutuhan penanganan kebencanaan menuntut adanya regulasi yang lebih adaptif.
“Raperda ini disusun untuk menjawab dinamika sosial yang berkembang pesat di Jawa Tengah. Semua itu memerlukan pengaturan yang lebih jelas, modern, dan implementatif,”ujar Putro dalam sambutannya.
Salah satu narasumber dalam uji publik tersebut, Sururul Fuad, memaparkan bahwa raperda ini merupakan pembaruan dari Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 yang dinilai perlu penyesuaian.
Ia menyoroti fenomena aktivitas informal yang kerap memicu ketidaktertiban, seperti keberadaan pedagang kaki lima yang tidak tertata, parkir liar, hingga kejahatan berbasis teknologi. Regulasi baru ini diharapkan hadir sebagai solusi aplikatif atas masalah-masalah tersebut.
“Raperda terbaru ini diharapkan dapat diterapkan secara efektif dan menjawab persoalan yang ada, khususnya di Jawa Tengah,” kata Fuad.
Dari sisi penegakan hukum, Kepala Biro Hukum Provinsi Jawa Tengah, Haerudin, menjelaskan mekanisme sanksi yang diatur dalam rancangan aturan ini. Ia menekankan adanya tahapan yang jelas sebelum sanksi pidana dijatuhkan.
Sanksi administratif akan menjadi prioritas utama sebagai bentuk pembinaan sebelum langkah hukum yang lebih berat diambil.
“Dalam peraturan ini diatur dua jenis denda, yaitu denda sebagai sanksi administratif dan denda sebagai sanksi pidana. Namun, sebelum penerapan sanksi pidana, akan diberlakukan sanksi administratif terlebih dahulu,” jelas Haerudin.
Sementara itu, sorotan penting mengenai pendekatan di lapangan disampaikan oleh narasumber lainnya, Retno Fajar Astuti. Ia menekankan perlunya mengubah citra Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) agar lebih humanis dan persuasif dalam menegakkan peraturan, namun tetap berpegang pada standar operasional prosedur dan hak asasi manusia. Selain itu, Retno juga memperjuangkan kesejahteraan Satuan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang menjadi garda terdepan di tingkat desa, terutama dalam penanganan bencana.
“Kita mengetahui image Satpol PP di masyarakat cenderung keras. Melalui perda ini, pendekatan yang dilakukan harus lebih humanis dan persuasif. Linmas merupakan relawan di masyarakat dengan tugas yang cukup berat. Oleh karena itu, perlu adanya apresiasi berupa fasilitas dan insentif yang layak bagi Satpol PP maupun Linmas yang telah menjalankan tugas dengan baik,” ungkap Retno.
Uji publik ini ditutup setelah sesi diskusi interaktif, di mana para peserta memberikan berbagai masukan kritis, khususnya terkait teknis penerapan sanksi di lapangan dan mekanisme pemberian insentif bagi petugas. Masukan tersebut menjadi catatan penting bagi Bapemperda untuk menyempurnakan draf Raperda Trantibumlinmas sebelum disahkan.












