DPRD Jawa Tengah Dorong Pendekatan Holistik Atasi Anak Putus Sekolah, Soroti Kompleksitas Sosial Ekonomi

Ari menekankan pentingnya peran pendamping sosial pendidikan dan pemerintah desa yang dapat melakukan pendataan berbasis rumah tangga untuk memberikan dukungan psikososial.

Wakil Ketua DPRD Jateng, Setya Ari Nugraha, menyoroti kompleksitas masalah Anak Putus Sekolah (ATS) di Jateng, terutama di Banyumas, Cilacap, dan Brebes. Menurutnya, isu ini dipengaruhi faktor ekonomi, sosial, dan psikologis, bukan hanya akses fisik.

SEMARANG, Banggasemarang.id – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah, Setya Ari Nugraha, menyoroti urgensi penggunaan pendekatan alternatif yang holistik dan manusiawi dalam menangani tingginya kasus anak putus sekolah (ATS) di berbagai daerah, khususnya di wilayah Banyumas Raya dan sekitarnya.

Ari menilai bahwa isu pendidikan dasar kini melampaui masalah akses fisik ke sekolah, melainkan dipengaruhi oleh ekosistem sosial, ekonomi, dan psikologis keluarga.

Pernyataan ini disampaikan Ari pada Jumat (7/11/2025), di tengah rangkaian kerja legislatif DPRD yang fokus pada isu pendidikan.

Ari menegaskan bahwa solusi untuk ATS tidak bisa lagi mengandalkan imbauan konvensional, mengingat kompleksitas faktor penyebab.

“Kita tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan konvensional berupa imbauan kembali bersekolah. Banyak anak putus sekolah karena faktor ekonomi, tekanan sosial, bahkan kehilangan motivasi. Solusinya harus holistik dan manusiawi,”kata Setya Ari Nugraha.

Hingga pertengahan tahun 2025, DPRD mencatat bahwa sekitar 15.000 anak di Jawa Tengah telah berhasil difasilitasi kembali ke bangku sekolah melalui program penanganan ATS.

Meskipun pencapaian ini adalah tanda baik, Ari mengingatkan bahwa pekerjaan masih panjang karena masih banyak anak yang belum terlayani akibat hambatan yang lebih kompleks.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah tahun 2024, tercatat lebih dari 48.000 anak usia sekolah dasar dan menengah di provinsi ini mengalami putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan formal.

Angka ini didominasi di Kabupaten Banyumas, Cilacap, dan Brebes, yang umumnya dipengaruhi oleh faktor ekonomi keluarga, perkawinan dini, serta migrasi orang tua.

DPRD Jateng Dorong Sekolah Fleksibel dan BLK Lokal untuk Atasi ATS. Menyikapi data lebih dari 48.000 anak putus sekolah di Jawa Tengah (2024), Wakil Ketua DPRD Jateng Setya Ari Nugraha menyatakan perlunya inovasi.

Menanggapi kondisi tersebut, DPRD Jawa Tengah kini mendorong model intervensi terpadu yang melibatkan pemerintah daerah, sekolah, dunia usaha, dan lembaga sosial masyarakat. Intervensi ini termasuk pengembangan program pendidikan fleksibel berbasis komunitas dan kelas vokasional terbuka yang dapat diakses anak-anak di luar sistem formal.

“Kita perlu hadirkan sekolah yang lebih dekat dengan realitas hidup anak-anak. Misalnya, mereka yang membantu orang tua bekerja tetap bisa belajar melalui sistem modul, daring, atau pusat belajar masyarakat,”ujar Ari.

Sebagai jalur alternatif, pemerintah daerah telah memperluas implementasi program Sekolah Kesetaraan Paket A, B, dan C berbasis digital, serta memperkuat kolaborasi dengan Balai Latihan Kerja (BLK) dan BUMDes.

Kolaborasi dengan dunia usaha dan industri lokal juga dinilai menjadi kunci, karena sektor tersebut dapat membuka ruang magang atau pelatihan kerja bagi remaja non-formal tanpa meninggalkan hak belajarnya.

Lebih lanjut, Ari menekankan pentingnya peran pendamping sosial pendidikan dan pemerintah desa yang dapat melakukan pendataan berbasis rumah tangga untuk memberikan dukungan psikososial.

“Saya kira desa perlu punya database anak usia sekolah yang belum terlayani. DPRD akan mendukung regulasi agar setiap anak punya hak belajar, entah di sekolah formal, pendidikan kesetaraan, atau jalur keterampilan yang setara,”papar dia.

Ari menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa pembangunan pendidikan harus menempatkan anak sebagai subjek, bukan sekadar objek kebijakan. Pendekatan alternatif ini diharapkan tidak hanya menurunkan angka statistik, tetapi juga mengembalikan kepercayaan diri dan semangat hidup anak-anak.

“Anak-anak ini bukan angka. Mereka masa depan bangsa. Kalau satu anak bisa kembali belajar, itu sudah sebuah kemenangan kecil yang sangat berarti,”pungkasnya.