Banggasemarang.id – Undang-Undang terbaru Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan menyebutkan, batas usia minimal kawin antara perempuan dan laki-laki adalah sama, yaitu 19 tahun, tujuan perubahan undang-undang ini adalah untuk memperketat batas usia minimal kawin bagi laki-laki dan perempuan dengan harapan dapat menekan laju pernikahan dini di Indonesia.
Namun pada kenyataannya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ini masih membuka ruang bagi terjadinya pernikahan dini. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 7 ayat (2) mengenai dispensasi nikah.
Dispensasi nikah adalah pengajuan permohonan untuk menikah oleh pasangan yang masih berusia di bawah 19 tahun. Pengajuan dispensasi nikah ini dapat dilakukan oleh orang tua dari salah satu pihak dengan alasan kondisi yang sangat genting beserta bukti-bukti yang cukup.
Ironinya, jumlah pengajuan permohonan dispensasi nikah malah meningkat tajam, dari yang awalnya 24.864 perkara pada tahun 2019 menjadi 54.469 pada tahun 2020.
Berdasarkan kasus di atas, bisa jadi mereka yang mengajukan dispensasi perkawinan belum paham betul mengenai pendidikan seksualitas.
Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hubungan seksual dan melahirkan bayi di usia anak. Dampak dalam segi kesehatanya meliputi gangguan pada saat kehamilan dan juga kelahiran karena faktor usia dari ibu yang masih berusia muda. Usia muda yang dimaksud disini adalah yang secara medis berusia dibawah 20 tahun.
Biasanya, kehamilan pada usia muda dapat memiliki beberapa dampak yang kurang baik dan juga cenderung berbahaya, seperti contohnya:menyebabkan munculnya tekanan darah tinggi atau hipertensi, menyebabkan kecacatan fisik bagi bayi, meningkatkan resiko terkena kanker serviks, menyebabkan anemia saat kelahiran, meningkatkan kemungkinan bayi lahir prematur, meningkatkan resiko keguguran Meningkatkan kecemasan dan juga depresi.
Adapun dampak psikologi perkawinan usia anak yaitu bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri, emosi tidak berkembang dengan matang. Kepribadiannya cenderung tertutup, mudah marah, putus asa, dan mengasihani diri sendiri.
Hal ini karena si anak belum siap untuk menjadi istri, pasangan seksual, dan menjadi Ibu atau orang tua. perkawinan anak juga menyebabkan gangguan kognitif, seperti tidak berani mengambil keputusan, kesulitan memecahkan masalah, dan terganggunya memori. Dominasi pasangan rentan menyebabkan terjadinya ketidakadilan, kekerasan rumah tangga serta terjadi perceraian.
Situasi ini diperparah dengan minimnya akses informasi tentang pendidikan seksualitas pada anak-anak . Masyarakat Indonesia sudah dari dulu menganggap tabu persoalan tentang pendidikan seksualitas karena Pendidikan seksualitas dianggap hanya berfokus pada seks sehingga ini menjadi topik yang tabu untuk dibahas bersama anak-anak.
Menurut Standards for Sexuality Education di Eropa dijelaskan bahwa pendidikan seksualitas yang holistik adalah belajar tentang aspek fisik, kognitif, emosional, sosial, dan interaktif dari seksualitas.
Pendidikan seksual bukan hanya tentang seks, anatomi, fisiologi biologis dan reproduksi seksual saja. Pendidikan seksual mencakup cara anak merasakan tentang tubuh yang sedang berkembang, identitas gender, citra tubuh dan memahami perasaan keintiman, ketertarikan, kasih sayang, serta mengembangkan hubungan yang saling menghormati dengan orang lain.
Perilaku seksual tidak aman dan penularan penyakit seksual akan semakin menjadi ketika generasi penerus, terutama mulai dari anak-anak , tidak paham dengan hal-hal yang berbau seksualitas. Seksualitas menjadi hal tabu termasuk berbicara mengenai pendidikannya hanya akan memancing rasa ingin tahu yang berbahaya. Ketika remaja dan anak-anak tidak mendapatkan jawaban atas rasa keingintahuan mereka mengenai suatu hal dari orangtua atau sekolah, kemana mereka akan mencari? teman sebaya dan internet.
Apakah kita semua akan membiarkan generasi penerus kita mengetahui mengenai seks hanya dari googling dan teman sebaya? Tanpa kita tahu apa hasil dari pencarian informasi mereka? Apakah tidak lebih baik jika lembaga-lembaga yang kompeten di bidangnya seperti kementrian kesehatan dan pendidikan, guru dan juga orang tua, mengambil alih penyampaian informasi yang benar dan bermanfaat bagi kehidupan generasi mendatang nantinya.
Perilaku seks bebas boleh ditabukan karena tidak sesuai dengan nilai budaya, dan juga baik untuk mencegah kehamilan di bawah umur dan diluar pernikahan, juga penularan penyakit seksual, tapi pendidikan mengenai seksualitas tidak boleh ditabukan.
Biarlah anak dan remaja mengetahui mengenai tubuhnya sendiri dan bagaimana menjaga tubuhnya agar tetap sehat, dan tidak membiarkan orang lain mengambil alih kendali atas tubuhnya, apalagi menjadi korban kejahatan seksual karena ketidaktahuannya.
Oleh karena itu, memasukkan pendidikan seksualitas dalam kurikulum pendidikan nasional sangat diperlukan.
Pendidikan seksualitas dapat membantu anak untuk menyadari hak seksual mereka dan orang lain, anak bisa mengenal dirinya dengan lebih baik. Selain itu juga menjaga diri, dan tidak berlaku semena-mena ke orang lain.
Dalam metode penyampaiannya, ruang-ruang kelas harus dipenuhi dengan diskusi tentang seksualitas yang menyenangkan, para guru perlu dibekali informasi yang benar tentang seksualitas sehingga mareka mampu mendidik para siswanya agar tidak malu mendiskusikan tentang seksualitas.
Selama ini yang terjadi guru seringkali memaknai seksualitas sebagai pornografi dan tidak pernah melihat dari sudut keilmuannya. Mari kita selamatkan generasi muda kita, sekarang.
Penulis: Adinda Riski Amalia (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan